FF "Til End, Never Say Goodbye" Chapter 1

Monday, February 11, 2013



FF “Til End, Never Say Goodbye”
Title    :           “Til End, Never Say Goodbye” <<Chapter 1/10>>
Subtitle         : What You Believe, Not Always True
Author :           Lee Hyo Sun aka Ulyana Wijaya
Genre  :           Romance, Sad
Rating :           Chapter, PG 15
Cast    :        
    Main Cast      :           Jiyeon TARA as – Jiyeon –  
                                          Kris EXO M as – Kris – 
                                          Changmin TVXQ as – Changmin –
 Other Cast      :           Find Them By Your Self
Chapter            :           10
Note    :           Ini adalah Fan Fiction pertama yang saya buat dan publikasikan, jadi jeogmal mianhae jikalau ternyata FF buatan saya ini masih jauh dari kata jjang dan daebak. Cast bukan milik saya sendiri, mereka adalah milik Tuhan, keluarga, agensi, teman, dan fans mereka. Cerita ini murni dari imajinasi saya, tanpa melirik cerita dimanapun. Walaupun begitu cerita ini tetap hanyalah fiktif belaka, jadi jika ada kesamaan, maka itu tidak author sengaja. Don’t became plagiarism, silent readers, and don’t bashing guys. Kritik dan saran akan selalu saya tampung. Jeongmal gamsahamnida sudah mau meluangkan waktu membaca FF saya ini ^o^ - bow .



Chapter 1
Jiyeon’s Quote
‘Goodbye is a word that i never hope to hear. Goodbye is.. hurt and sad. That always make me cry and always make me feel so bad. That why.. I ever wish you never say goodbye, til end’
Jiyeon POV
Aku masih termangu. Ku tatap sebuah papan nama yang tergantung tepat di atasku, lalu aku mengeluarkan lagi secarik kertas yang telah sedikit kusut dengan tangan gemetar. Ku baca perlahan tulisan di kertas itu dalam hati, ‘Annmyeongdo Night’. Benar, tempat inilah yang sedari tadi aku cari. Setelah yakin jika apa yang ku lihat tidaklah salah, aku perlahan memasukkan kertas itu ke dalam saku celanaku kembali. Aku mencoba mengatur nafasku agar apa yang akan aku lakukan tidak membuatnya semakin membenciku. Tanganku masih bergetar, aku pun menggenggamkan kedua tanganku untuk meredakan sedikit rasa cemas ku.
“Annyeong haseyo, nona..”
Aku menoleh. Ku lihat seorang lelaki paruh baya telah berdiri tepat di sampingku. Dia tersenyum ramah dan membungkuk memberi hormat padaku. Aku pun membalas membungkuk padanya. Dia menunjuk kartu nama yang telah tertempel rapi di dada kirinya.
“Perkenalkan nona, aku adalah petugas keamanan di daerah Annmyeongdo ini”
“Ah ne, apa ada yang bisa saya bantu, ahjusshi?”
Petugas keamanan itu mengangguk dan menatapku dengan seksama, seolah ingin memastikan apakah aku telah berbuat salah atau tidak.
“Apa nona memiliki kartu penduduk?”
Aku segera mengerti kemana arah pembicaraan petugas keamanan ini. Dia mengira aku masih di bawah umur. Aku pun segera mengambil dompetku yang terselip di dalam tas ku yang minimalis dan ku ambil kartu penduduk ku disana.
“Ini..”
Petugas keamanan itu segera menyambar kartu penduduk ku dengan tidak sabar dan melihatnya dengan wajah sedikit serius. Sekilas ia tampak terkejut, namun kemudian ia kembali tersenyum ramah dan segera mengembalikann kartu penduduk itu padaku.
“Jeoseohamnida nona Jiyeon – sshi.. Aku hanya ingin memastikan jika nona sudah cukup umur untuk datang ke tempat seperti ini”
Aku menggeleng pelan sambil memasukkan kembali kartu penduduk ku.
“Gwaenchana, ahjusshi. Memang banyak orang yang mengira aku masih di bawah umur, padahal saat ini sudah hampir satu tahun lewat dari sweet twenty ku”
Petugas keamanan itu mengangguk dan tertawa dengan sedikit merasa bersalah.
“Baiklah kalau begitu, silahkan nona lanjutkan apa yang ingin nona lakukan. Saya pamit dulu. Sekali lagi, jeoseohamnida”
Petugas keamanan itu membungkukkan tubuhnya sekali lagi. Dengan sekuat tenaga, sambil melawan tanganku yang terus gemetaran, aku mencoba tetap membalas membungkuk pada petugas keamanan itu. Secepat pemeriksaan, secepat itulah petugas itu melenggang pergi meninggalkanku. Aku melihatnya menyambangi beberapa gadis yang memang terlihat masih di bawah umur. Aku tersenyum simpul, menyadari betapa terlihat awet mudanya diriku.
Tanpa menunggu lagi, aku melangkahkan kakiku memasuki bar malam “Annmyeongdo Night”. Bar ini memang yang paling terkenal di antara bar lain di kawasan Annmyeongdo. Namun ini baru pertama kalinya aku menjejakkan kaki di bar selain di bar kawasan Gangnam. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok yang telah ku cari selama empat hari belakangan ini. Selama dua puluh menit aku berkeliling, hasilnya nihil. Justru malah tatapan pria – pria jalang yang berhasil aku lihat. Aku mencoba tidak menghiraukannya, walau mereka mecoba mendekatiku. Sampai akhirnya aku menemukan seorang namja yang membuatku tidak bisa tidur tadi malam.
Aku tersenyum dan segera bergegas menuju ke tempat dimana dia berada, ingin segera memeluknya. Namun sebelum aku mencapai tempat dimana dia berada, sebelum aku bisa memanggil namanya, badanku serasa lemah tak berdaya. Melihatnya yang tiba – tiba memeluk seorang yeoja yang aku tahu jelas siapa dia. Suzy, sahabatku yang entah kenapa tiba – tiba menjauh dariku semenjak dia mengetahui hubunganku dengan Changmin Oppa, pria yang saat ini memeluknya dengan mesra. Aku terjatuh karena keseimbanganku goyah, namun seseorang tiba – tiba menopang tanganku hingga tubuhku kini tegak kembali. Aku segera melayangkan pandanganku padanya, ingin berterima kasih atas bantuannya. Tepat saat itu aku melihat seorang pria berambut pirang yang tersenyum manis padaku.
“Nona, apa kau baik – baik saja?”
Aku mengatur kembali posisi tubuhku dan mengangguk pelan.
“Nan gwaenchana. Gumawoyo”
Senyum pria itu mengembang kembali, dia nampak lega mendengar jawabanku.
“Syukurlah kalau begitu. Nona, hati – hati jika kau berada di tempat ini. Jika kau tidak sadarkan diri, apa kau tahu bagaimana nasibmu selanjutnya?”
Aku tersenyum kecut. Tentu saja aku mengetahuinya. Apa aku terlalu ppabo sampai tidak mengetahuinya?
“Ara. Sekali lagi, jeongmal gumawo”
Pria itu menggaruk – garuk kepalanya sehingga membuat rambutnya sedikit berantakan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Sementara aku? Aku masih berusaha mencuri – curi pandang ke arah Changmin Oppa yang kini tengah duduk bersebelahan dengan Suzy. Ku lihat senyumnya mengembang, dia tampak sangat bahagia. Padahal, sejak hampir sebulan yang lalu aku tidak pernah melihat senyum itu.
Air mata telah menggantung di ujung pelupuk mataku. Rasanya duniaku runtuh begitu saja karena apa yang ku lihat semenit yang lalu. Changmin Oppa, pria yang telah mengisi hatiku selama sembilan tahun belakangan ini. Pria yang aku tasbihkan sebagai cinta pertama dan mungkin sebagai cinta terakhirku. Pria yang selalu menjadi panutan hidupku. Pria yang selalu aku sebutkan ketika banyak orang menanyakan tipe idealku. Pria yang selalu hadir dan menemani bunga tidurku. Pria yang selalu mengelus lembut rambutku setiap hari. Pria yang selalu aku yakini adalah belahan jiwaku. Semua anggapan itu seakan menguap bersamaan dengan jatuhnya air mataku.
Aku segera berlari meninggalkan bar malam yang menyesakkan ini. Tak akan ku biarkan mataku berlama – lama melihat pemandangan yang menyayat hatiku. Sampai aku masuk kedalam mobilku, tangisanku tak dapat terbendung lagi. Aku merasakan semua duri yang secara bersamaan menusuk hatiku, menusuk harapanku, dan menusuk keyakinanku. Aku terus menangis, menangis, dan menangis. Kenapa akhirnya harus begini? Di saat diriku telah melayang jauh sampai di depan pintu kebahagiaan, secepat kilat takdir menghempaskanku begitu saja ke dalam palung kelam pengkhianatan. Apa salahku? Cinta? Apa ini yang namanya cinta?


Changmin POV
“Apa kau tidak mendengarkan apa yang appa katakan padamu? Kenapa kau sangat egois seperti ini? Apa di dunia ini, wanita, hanya Jiyeon saja?”
Egois? Apa aku ingin bersama wanita yang aku cintai dinamakan egois? Bahkan aku rela melepas harta warisan yang akan appa berikan padaku. Lalu apa ini? Kenapa noona ku sendiri memaksaku untuk putus dari Jiyeon?
“Wae? Waeyo?!”
Aku menghamburkan kata – kata itu dengan emosi. Apa salah ku dan Jiyeon hingga kami harus berpisah? Kahi noona menatapku garang, seakan siap menerkamku kapan saja.
“Apa kau tidak mendengar apa yang appa, omma, dan noona mu bilang dari tadi? Akhiri hubunganmu dengan Jiyeon..”
Kahi noona berhenti marah – marah, dia mencoba mengontrol emosinya. Dan, air matanya tiba – tiba tumpah membasahi tanganku yang dia genggam. Aku terkejut, sejak dulu aku lupa Kahi noona pernah menangis. Dia sangatlah tegas dan ambisius, oleh sebab itu dia tidak pernah menunjukkan air matanya di depan siapapun kecuali kedua orang tuaku. Namun sekarang, dia menangis di depanku. Untuk yang pertama kalinya.
“Noona..”
“Apa kau berniat menukar keluargamu yang telah menyayangimu selama dua puluh lima tahun kau hidup dengan Jiyeon yang baru kau kenal selama sembilan tahun? Apa kau tidak menyayangi keluargamu? Apa kau tidak menyayangi noona mu ini?”
Aku diam, tidak bisa berkata apa – apa. Kahi Noona melepaskan genggamannya. Dia menghapus air matanya lalu memunggungiku. Tak terasa air mataku ikut mengalir, membasahi pipiku setelah selama sembilan tahun ini tak perah terjadi karena aku selalu bahagia saat bersama Jiyeon. Aku berpikir beberapa saat, teringat akan kasih sayang yang telah keluargaku berikan padaku selama ini.
Aku mendekati Kahi noona dan menggenggam tangannya.
“Aku.. akan melakukan itu..”
Kahi noona tampak terkejut.
“Jinjja?”
Aku mengangguk lemah. Kahi noona memelukku. Sebenarnya hatiku sangatlah hancur mengatakan ini. Tapi, apa daya jika memang inilah yang terbaik? Bukan yag terbaik bagiku dan Jiyeon, tapi bagi keluargaku. Apa aku selemah ini? Secepat inikah aku menyerah setelah sekian lama aku bersamanya? Eoteokhae?
Aku terus meminum bir yang telah disajikan. Satu gelas, lagi, lagi, dan lagi. Sudah hampir satu bulan semenjak aku membuat perjanjian itu dengan noona ku. Namun aku masih belum bisa memutuskannya sendiri, aku ingin membuatnya yang memutuskanku. Empat hari pula aku pergi dari rumah, tinggal di hotel dan dengan sengaja melangkahkan kakiku ke Annmyeongdo Night. Aku mendramatisir agar resepsionis hotel memberikan alamat bar yang akan ku kunjungi sekarang pada Jiyeon dan aku telah mengatur pertemuan dengan Suzy hari ini.
Setelah hampir lima gelas bir habis masuk ke perutku, aku melihat Jiyeon yang memasuki ber dimana aku duduk sekarang. Aku terus bersembunyi dan mencari dimana sebenarnya keberadaan Suzy. Sampai aku menemukan Suzy, aku segera memeluknya dan aku tahu jika Jiyeon telah melihatku. Suzy yang juga tengah mencariku terkejut mengetahui aku yang tiba – tiba memeluknya.
“Oppa?”
“Diamlah.. Apa kau tidak mau aku peluk?”
Suzy terdiam sejenak. Dia membelakangi Jiyeon, jadi pasti tidak mengetahui jika Jiyeon tengah melihat kami. Aku melihatnya, terjatuh hampir oleng. Aku juga melihatnya dibantu oleh seorang pria dan mereka berbicara sejenak.
“Tentu saja aku senang jika Oppa memelukku seperti ini”
“Kalau begitu, bisakah kita berbicara sejenak?”
Aku melepas pelukanku dan melihat wajah Suzy yang tampak sangat bahagia. Dia mengangguk dan aku segera menggandengnya duduk di sofa tak jauh dari tempat kami semula.
“Oppa, kenapa kau menjadi seperti ini?”
Aku melihat mata Jiyeon berkaca – kaca. Rasanya aku ingin sekali menangis sekarang juga, namun aku harus menahannya demi drama yang aku persiapkan ini.
“Hubunganku dengan Jiyeonn, sedang di ujung tanduk. Maukah kau, menemaniku dan menghiburku? Ini sangat membuatku frustasi”
Senyum Suzy semakin mengembang. Dia mengangguk dan menggenggam tanganku. Aku melihat Jiyeo sekali lagi, namun tepat saat itu, aku hanya bisa melihat punggungnya yang berlari meninggalkan bar. Saat itu juga, hatiku, serasa seperti kulit yang tersayat serpihan kaca. Terluka, hanya itu yang ku rasakan sekarang. Gadis yang akan aku persunting, gadis yang aku berharap akan melahirkan anak – anak ku kelak, gadis yang ku harap akan memasangkan dasiku dan menyiapkan kopi setiap paginya sebelum aku berangkat kerja, gadis yang aku yakini adalah jiwa dan ragaku, harus aku sakiti dengan keputusanku sendiri. Cinta pertamaku yang seperti surga bagiku, telah berakhir..


Kris POV
“Tuan muda, Presdir memerintahkan kami untuk membawa tuan muda menghadap beliau sekarang..”
Aku terkekeh. Aku harus menghadap kepada appa, sekarang? Konyol, sejak kapan appa memerintahkan body guard untuk membuatku menghadap padanya.
“Apa kalian bercanda? Sejak kapan appa menyuruh body guard untuk menjemputku?”
Dua body guard di depanku saling bertatapan, lalu dengan cepat memborgol kedua tanganku. Aku langsung saja emosi, apa salahku? Kenapa aku di borgol?
“Apa yang kalian lakukan? Kalian berani memborgolku?!”
Aku berusaha melepas borgol yang mengunci kedua tanganku, namun sia – sia. Aku terus memberontak dan berteriak kepada kedua body guard ku yang keterlaluan ini. Ku rasakan kedua tanganku kesakitan karena harus di borgol seperti ini.
“Kalian masih tidak mau melepaskan borgol ini? Apa kalian ingin aku adukan pada appa bahwa kalian telah menyiksaku?”
Kedua body guard appa tampak takut dengan ancamanku. Dalam hati aku kegirangan, ternyata senjataku ampuh juga. Mereka melepas borgol di tanganku. Aku langsung mengelus kedua tanganku dan menatap mereka dengan sinis.
“Apa yang sebenarnya membuat appa ingin aku menghadap padanya?”
“Anda akan di kirim ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi Anda”
Apa? Studi? Di Amerika? Padahal sudah jelas aku memperingatkan appa aku akan melarikan diri jika benar – benar dikirim ke sana. Appa sungguh keterlaluan.
“Kenapa tidak bilang sejak tadi? Jika aku mengetahui hal itu, aku tidak akan mencoba kabur dari kalian..”
Salah satu body guard menunduk minta maaf.
“Jeoseohamnida, Tuan Muda. Kami hanya ingin menjalankan perintah”
Aku berjalan menuju mobil, kedua body guard appa langsung mencegatku.
“Mwo? Aku hanya akan masuk ke dalam mobil. Apa itu juga tidak di perbolehkan appa?”
Kedua body guard appa sekali lagi menunduk minta maaf dan berjalan megikutiku. Aku melihat sekeliling, dan tepat ketika aku akan masuk ke dalam mobil, ku lihat ada taxi yang lewat. Tanpa berpikir panjang aku segera berlari ke arah taxi itu dan masuk ke dalamnya. Dua body guard appa mencoba mengejarku namun sia – sia karena taxi yang aku tumpangi telah melaju sebelum mereka sempat menyetop taxi yang ku tumpangi.
“Ke Annmyeongdo Night”
Aku terus mengedarkan pandanganku. Mencoba meneliti perempuan yang masuk ke dalam bar ini. Namun tetap saja tak ada yang menarik perhatian ku sampai seorang perempuan yang baru saja masuk ke dalam bar ini berlalu di hadapanku. Aku melihatnya berjalan dengan agak gemetar, jadi aku mengikutinya. Dia menunduk pada orang – orang, walaupun dia tahu jika sebagian besar orang di dalam bar ini sedang mabuk. Aku sangat terkesan padanya. Dia juga menolak minum bir dan lebih memilih meminun air putih. Dia berkeliling mencari sesuatu, dan nampaknya dia menemukan apa yang dia cari karena dia tiba – tiba tersenyum. Tanpa terasa aku ikut tersenyum ketika dia juga tersenyum.
Namun beberapa detik kemudian, bisa ku lihat badannya yang kehilangan keseimbangan dan segera ku raih tangannya.
“Nona, apa kau baik – baik saja?”
Aku memperhatikannya yang terlihat sedang megatur posisi berdiriya.
“Nan gwaenchana. Gumawoyo”
Aku sangat lega mendengar jawaban itu dan tersenyum lebih lebar.
“Syukurlah kalau begitu. Nona, hati – hati jika kau berada di tempat ini. Jika kau tidak sadarkan diri, apa kau tahu bagaimana nasibmu selanjutnya?”
Dia terlihat tersenyum kecut mendengar pertanyaanku. Tentu saja apa yang akan di alaminya jika itu terjadi adalah mala petaka.
“Ara. Sekali lagi, jeongmal gumawo”
Aku menggaruk – garuk kepalaku walaupun tidak gatal dengan gugup. Aku berusaha mengalihkan perhatian dengan melihat – lihat sekeliling dan ku lihat dia memperhatikan seseorang. Tak berapa lama kemudian dia berlari pergi tapa mengucapkan salam padaku. Sebenarnya aku ingin menahannya namun tiba – tiba ku rasakan ada setetes air mata yang mengalir di punggung tanganku. Aku sesaat berpikir ini air mata siapa. Namun akhirnya aku menyadari jika ini adalah air mata gadis itu.
Hanya sekali aku melihatnya. Bahkan belum genap lima belas menit aku memandanginya. Namun, aku sudah merasakan mempunyai chemistry dengannya. Ini aneh mengingat aku tidak pernah percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Beberapa saat aku mencoba sadar dari pikiranku yang kalut ini, namun pada akhirnya aku tidak bisa memungkiri bahwa kata – katanya yag hanya delapan kata telah terukir indah bagai ribuan kata mutiara di hatiku. Untuk pertama kalinya aku ingin tahu seluk beluk seorang perempuan yang hanya sekilas aku lihat. Aku merasakan kesegaran saat kehadirannya, kekuatan dalam setiap nafasnya, kelembutan dari setiap senyumnya, dan itu membuatku yakin, bahwa aku percaya cinta pada pandangan pertama itu memang ada. Gadis itu.. Your my first point love, right?
                                                   
To Be Continued ...



You Might Also Like

0 Comments

Let's share our opinion with an open mind^^